Akhir-akhir ini nampaknya ‘manfaat untuk karier’ menjadi
penentu dari seberapa esensial kemampuan berbahasa Inggris di kehidupan kita.
Banyak sekali artikel yang menyajikan bahwa pentingnya memiliki kemampuan
berbahasa Inggris adalah untuk akselerasi karier di bidang pekerjaan,
memperluas relasi, dan sebagainya. Seolah satu-satunya alasan untuk mempelajari
bahasa Inggris adalah untuk mempersiapkan masa depan seseorang. Kampanye yang
demikian tak jarang membuat saya lelah. Meski tak salah, namun tujuan dari
belajar yang sebenarnya jadi terlupakan. Seakan tujuan dari belajar hanyalah
untuk bekerja. Padahal ada banyak hal yang sama pentingnya dengan pekerjaan
yang bisa kita dapatkan dari belajar, dalam hal ini belajar bahasa Inggris.
Seperti yang saya alami dalam perjalanan saya mengenal
bahasa Inggris. Barangkali orang-orang tak melihat medali yang bergelantungan
di leher saya atau piala yang berjejeran di ruang keluarga karena saya mampu
berbahasa Inggris sedikit lebih baik dari yang lain. Namun itu semua bukan
bentuk kegagalan apalagi kesia-siaan dalam belajar bahasa Inggris. Ada banyak
sekali hal di luar prestasi atau karier yang dapat kita apresiasi dari proses belajar
seseorang dan kemampuan yang berhasil ia bangun dari hasil belajar tersebut.
Salah satunya adalah penemuan diri.
Acap kali kita menemui fase dimana kita jadi kehilangan
harapan dan semangat untuk menjalani hidup. Merasa tak berguna dan tidak bisa
apa-apa adalah hal yang lumrah terjadi di antara kita. Seperti kebanyakan
orang, saya juga mengalami hal yang sama. Namun, tanpa disadari, secara
langsung maupun tidak, kemampuan bahasa Inggris yang saya bangun selama
bertahun-tahun ini menolong saya untuk keluar dari situasi tersebut.
Sebagai seorang pelajar tentu yang kita hadapi
sehari-hari adalah sekolah, dan seiring dengan bertambahnya usia, meluasnya
pergaulan, kita jadi bisa bertemu orang-orang hebat dengan prestasi yang
mengagumkan. Sebagai siswa biasa, saya tentu saja merasa minder, terbelakang,
dan merasa tak bisa apa-apa. Kemampuan bahasa Inggris yang saya miliki seakan
sia-sia saja karena tak pernah sekalipun menjadi catatan prestasi di buku
rapor. Semangat saya tambah patah karena prestasi di mata pelajaran lain pun
tak luar biasa. Saya putus asa, semuanya lebih baik dari saya bahkan dalam hal
yang menjadi satu-satunya kelebihan saya, bahasa Inggris.
Tapi
kelihatannya saya salah. Kelebihan satu-satunya yang saya miliki ternyata masih
punya kegunaan. Saya pikir karena bahasa Inggris saya yang pada waktu itu
sebatas ‘sedikit lebih baik’ daripada yang lain bukanlah apa-apa, sebab masih
banyak yang ‘amat sangat baik’ kefasihannya di kelas. Hal tersebut lantas
membuat saya berpikir bahwa kelebihan yang level kecakapannya tak seberapa ini
hanya akan teronggok di otak tanpa memiliki manfaat atau membawa perubahan yang
signifikan terhadap prestasi saya di sekolah.
Namun,
tak disangka-sangka, hal yang tak seberapa hebat itu membawa saya pada hal-hal
kecil yang sangat bermakna. Dipuji oleh guru pelajaran bahasa Inggris karena
sukses mengerjakan tugas, misal. Walaupun terlihat sepele, namun hal tersebut
membuat saya merasa senang, karena apa yang saya kerjakan mendapat respon
positif dari guru yang saya hormati. Tak sampai disitu, pujian yang mungkin
sudah dilupakan oleh guru saya itu, telah menjadi penyemangat dan pembangun
rasa percaya diri saya untuk terus mendalami bahasa Inggris. Di jam pelajaran
bahasa Inggris atau dalam persiapan try out, ada kalanya teman-teman
menanyakan maksud dari kosakata maupun kalimat bahasa Inggris yang kurang
mereka pahami kepada saya.
Kepercayaan
mereka untuk menjadikan saya sebagai tempat untuk dimintai tolong, membuat saya
menemukan nilai dalam diri sendiri. Mungkin hal ini terdengar sangat remeh,
namun tetap saja nilai yang saya temukan dalam diri sendiri karena bisa jadi
berguna bagi orang lain merupakan hal yang sangat berarti. Pujian yang
dilontarkan pada waktu itu memberi tahu saya bahwa saya telah melakukannya
dengan baik, suatu hal yang berulang kali saya tepis karena saya pikir, tidak
mungkin saya bisa mendapat apresiasi atas ketidak-istimewaan ini. Penemuan yang
hadir dalam perjalanan ini menghentikan saya dari pemikiran bahwa saya adalah
orang yang tidak bisa apa-apa dan mulai menghargai kelebihan yang saya miliki.
Saya juga jadi sadar bahwa kelebihan bukanlah ‘apa yang bisa saya lakukan dan
orang lain tidak,’ tetapi ‘di antara sekian banyak hal, hal apa yang paling
baik saya lakukan.’
Strength is not ‘what others can’t do but we can’
Strength is what we most best at
Dalam hidup, yang namanya manusia pasti pernah mengalami
masalah. Tak hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali. Apalagi di masa remaja,
masa dimana kita tengah mencari jati diri. Tak terhitung ada berapa peristiwa
yang kita alami demi menemukan arti dari diri sendiri. Sebagai remaja yang
sedang mengalami masa transisi, saya begitu terkejut dengan lingkungan SMP kala
itu. Kenyataan yang jauh berbeda dibanding sekolah dasar masih sulit saya
terima. Label ‘siswa berprestasi’ yang saya dapatkan dibangku SD ternyata bukan
hal yang istimewa saat saya masuk SMP dan bertemu dengan teman-teman yang lebih
hebat. Rasa percaya diri yang saya punya terkikis sedikit demi sedikit, saya
pesimis bisa jadi sehebat apa yang saya mau, hingga akhirnya pemikiran itu
membawa saya pada setiap kegagalan untuk memenuhi target yang saya tentukan
kepada diri sendiri. Lambat laun saya pun jadi semakin takut untuk bermimpi
karena saya pikir saya tak akan mampu menggapainya.
Bertahun-tahun saya berkutat dengan pemikiran tersebut,
bahkan hingga saya lulus dan masuk SMA. Tak ada titik terang yang saya temui,
sampai saya tak sadar bahwa kebebasan saya untuk bermimpi telah direnggut oleh
sebuah pemikiran yang selalu menjadi sangkar bagi jiwa saya. Kutipan ‘they
told me all of my cages were mental, so I got wasted like all my potential’
dari lagu Taylor Swift yang berjudul This Is Me Trying sangat beresonasi
dengan apa yang saya rasakan pada waktu itu.
Namun,
anugerah datang. Saya dipertemukan dengan dunia debat bahasa Inggris di kelas X
semester 2 lalu. Mendengar kata debat, jantung saya berdebar, saya begitu
bersemangat. Sudah sejak lama saya ingin mencoba kesempatan ini, berharap suatu
hari nanti saya mampu menjadi seperti debater yang pernah saya tonton.
Tawaran tersebut datang dari salah satu kawan saya, tentu saja saya benar-benar
bahagia, tapi di sisi lain saya juga ragu apakah saya bisa melakukannya dengan
baik. Yah, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Keraguan tersebut datang
tepat setelah saya mengiyakan tawarannya. Kali ini saya harus berterima kasih
pada sifat impulsif saya, tanpanya saya mungkin tak pernah punya kesempatan
untuk mencoba hal yang saya mau dan membawa saya ke penemuan diri selanjutnya.
Bersamaan dengan proses persiapan lomba tersebut, timbul
keinginan untuk menang dalam diri saya, timbul semangat untuk melakukan yang
terbaik dan memperjuangkan hal yang saya sukai. Entah datang dari mana hal-hal
tersebut, saya yang tak punya pengalaman pada lomba debat tiba-tiba berani
sekali berharap untuk lolos seleksi provinsi. Saya ingin menang. Hanya itu yang
saya tahu.
Barangkali selama proses pelatihan tersebut,
berkomunikasi, melakukan hal yang saya suka, dan bertukar pendapat telah
membawa saya pada perspektif baru. Perspektif yang membuat saya mampu melepas
kunci sangkar kepesimisan saya. Saya ingat sekali pada suatu sore selepas
persiapan lomba, salah satu rekan saya berkata, “Saya rela berhenti main
game demi lomba ini, karena saya ingin menang.” Perkataan itu benar-benar
merubah pemikiran saya tentang harapan. Kami bertiga sama-sama tak punya
pengalaman, tapi rekan saya bisa punya harapan yang demikian, harapan yang
anehnya sejalan dengan apa yang saya rasakan. Sore itu, ‘sangkar’ saya resmi
terbuka. Ketakutan untuk berharap dan bermimpi yang selama ini mengekang sudah
menghilang. Ternyata berharap bukanlah suatu hal mahal yang harus dibayar
dengan kemampuan dan prestasi. Harapan adalah hal yang mengubah seseorang dari
biasa jadi luar biasa. Karena bukan piala dan piagam yang membuat seseorang
hebat, tapi keberanian mereka untuk berharap.
Selain pertemuan saya dengan harapan, lomba debat juga
membawa saya pada hal yang selama ini saya cari, yaitu ‘tujuan’. Bertahun-tahun
saya stres dan bimbang dengan pertanyaan ‘sebenarnya, apa sih yang ingin
saya lakukan?’ Saya tak punya hal yang ingin saya pelajari atau hal yang
ingin saya kerjakan di masa depan, saya tertarik pada beberapa hal tapi tak
yakin untuk menjadikannya lebih dari sekedar hobi. Hingga lagi-lagi, dalam masa
pelatihan lomba debat, ketika kami diminta untuk menyiapkan sebuah mosi, saya
menjadi terpikirkan soal ‘tujuan.’
Tak disangka-sangka, hal yang sama sekali tidak terencana
dan hampir tak punya korelasi ini membawa saya pada penemuan tentang hal yang
ingin saya lakukan. Saya jadi terpikirkan untuk belajar ilmu hukum setelah saya
lulus SMA nanti. Barangkali pertemuan saya dengan ‘tujuan’ ini terlihat dangkal
karena muncul dalam proses singkat menyiapkan mosi untuk debat bahasa Inggris.
Tapi sejujurnya, ketertarikan ini bukan ketertarikan yang muncul dalam semalam,
karena dari dulu saya sudah tertarik pada hal-hal berbau hukum. Ketika saya
tengah mencari tahu tentang dasar hukum yang berkaitan dengan hal pada mosi
yang saya siapkan, saya merasa keren. Banyak hal yang bisa membuat orang merasa
keren, diantaranya adalah dengan melakukan apa yang mereka mau dalam hidup.
Barangkali hal yang sama terjadi pada saya. Dari sekian banyak hal yang saya
cari tahu di dunia ini, hanya ilmu hukum yang berhasil menumbuhkan keinginan
serius pada diri saya untuk mendalaminya.
Secara
sekilas, mungkin hukum terlihat kaku dan hanya berisi tentang seperangkat
peraturan yang dingin, namun hal itu tidak benar adanya. Hukum justru ada untuk
menjaga kehangatan antarmanusia. Hukum bukan hanya seperangkat peraturan, tapi
juga kasih sayang untuk umat manusia. Karena, dengan adanya hukum, manusia
diingatkan kembali untuk jadi manusiawi, dan hukum adalah kasih sayang, karena
ia memberi maaf, kesempatan dan keadilan. Pemikiran ini muncul dari ketidaksengajaan,
dari bahasa Inggris, mendalami bahasa Inggris, ikut debat bahasa Inggris, ke
mosi, lalu ke hukum. Sungguh perjalanan yang absurd. Namun, pemikiran dan
pertemuan ini tak akan ada kalau sejak awal saya menyerah dengan bahasa
Inggris.
Perkenalan saya dengan bahasa Inggris bagaikan efek
kupu-kupu dalam hidup saya. Hal yang nampak tak seberapa namun mampu membawa
saya pada berbagai macam penemuan besar dalam hidup. Barangkali, jika saya tak
memahami bahasa Inggris dengan baik, hal-hal yang saya sampaikan tadi tidak
akan terjadi, tanpa bahasa Inggris mungkin sekarang saya masih menjadi seorang
pesimis dan penakut, tanpa bahasa Inggris saya tak akan bisa mengikuti lomba
debat yang mengantarkan saya pada apa yang selama ini hilang, pada apa yang
saya cari, dan pada perspektif baru akan hal yang mulanya belum saya kenal
dengan baik. Jadi, tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa bahasa Inggris
membawa perubahan yang sangat mendalam pada hidup saya. Saya sangat bersyukur
bisa mendapat kesempatan untuk mengenal bahasa Inggris dan terus mendalaminya.